I.
Contoh diskriminatif di luar negeri dan dalam negeri!
Dari Luar Negeri:
a. Jepang merupakan salah
satu negara termaju di dunia. Kerja keras dan semangat yang tinggi adalah
bagian ciri khasnya. Namun, bukan berarti Jepang pun maju dalam segala hal.
Masih ada soal diskriminasi yang mendarah daging di dalam aspek kehidupan masyarakatnya,
hingga detik ini. Meski hal tersebut tidaklah terlalu mencolok, akan tetapi
pengkotakan terhadap suatu kaum yang dianggap tak layak tetap terasa kental,
terutama dalam hal pernikahan dan pekerjaan, apalagi yang berada diluar wilayah
Kansai.
Kaum Eta dalam masyarakat
feodal Jepang adalah kaum yang menempati strata paling rendah dalam masyarakat.
Bahkan, mereka dianggap tidak layak menempati salah satu kasta yang ada.
Pekerjaan kaum Eta yaitu yang berkaitan dengan penyembelihan hewan, mengurus pemakaman,
algojo, penyamakan kulit, merupakan pekerjaan umum dari kaum Eta. Dalam agama
Buddha dan Shinto (di Jepang) pekerjaan mereka termasuk dalam pekerjaan yang
menjijikkan atau rendahan. Maksudnya adalah pekerjaan, seperti menyembelih
hewan, algojo sebaiknya harus dihindari, karena akan berakibat kurang baik bagi
diri sendiri.
Selain kaum Eta, ada
beberapa kaum buangan lainnya di Jepang, yaitu:
1. Kaum Hinin (bukan
manusia) Definisi hinin, serta status sosial mereka dan pekerjaan khas bervariasi
dari waktu ke waktu, tetapi biasanya termasuk mantan narapidana dan gelandangan
yang bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan atau penghibur.
2. Kaum Kawaramono (kering,
orang sungai) Beberapa orang buangan juga disebut kawaramono (kering, orang
sungai) karena mereka tinggal di sepanjang tepi sungai yang tidak bisa diubah
menjadi sawah.
3. Kaum Burakumin
(orang-orang pemukiman kecil) Burakumin adalah sebutan untuk orang Jepang yang
merupakan keturunan kaum terbuang, terutama Eta, Hinin, dan Kawaramono. Secara
harfiah Burakumin berarti "Orang-orang pemukiman kecil", dimana hal
ini merujuk pada pemukiman kaum Eta yang terpisah dari kasta lain dalam
masyarakat feodal.
b. Warga Malaysia keturunan
Tionghoa dan India, paham betul bagaimana negeri Malaysia memperlakukan
warganya yang non-Melayu. Mereka seperti warga kelas dua di negeri sendiri.
Kontroversi pemakaian
kata Allah yang dianggap sebagai terjemahan Tuhan dalam bahasa Melayu pada
kitab suci umat nonmuslim. Bumiputra (sebutan untuk penduduk asli Malaysia)
yang menguasai 60% dari populasi mengklaim kata Allah sebagai sebutan eksklusif
mereka dan tidak terima kata itu digunakan umat beragama lain. Klaim eksklusif
itu pun langsung menebarkan kecemasan bagi masyarakat non-muslim Malaysia. Mereka
khawatir, pihak-pihak tertentu tengah berusaha melakukan Islamisasi. Sehingga
di tahun 2007 sekitar 140.000 warga Malaysia memutuskan untuk hijrah ke negara
lain. Sebagian besar dari mereka dilaporkan sebagai warga non-Melayu.
Perpecahan antar etnis di Malaysia itu adalah Kebijakan Ekonomi Baru (NEP).
Aturan yang mulai diterapkan di era Perdana Menteri (PM) Tun Abdul Razak pada
1971, dimaksudkan untuk memproteksi etnis Melayu menyusul kerusuhan besar pada
1969 antara Melayu dan Tionghoa. Perlahan, Bumiputra memang bisa mengejar
ketertinggalan mereka dalam soal ekonomi dari etnis terbesar kedua. Tionghoa.
Tetapi di sisi lain proteksi ala NEP membuat warga Melayu manja karena dalam
segala bidang kehidupan, warga Melayu begitu diistimewakan.
Di sektor bisnis,
perusahaan yang dimiliki non-Melayu wajib mempekerjakan warga Melayu, minimal
30 persen dari total karyawan. Padahal, perusahaan milik orang Melayu sama
sekali tak punya kewajiban merekrut karyawan dari etnis lain.
Di dunia pendidikan. 55
persen alokasi di universitas negeri diperuntukkan warga Melayu. Akibatnya,
etnis Tionghoa dan India pun lebih memilih menuntut ilmu di sekolah-sekolah
yang menggunakan bahasa keseharian mereka. Diskriminasi juga begitu tampak di
lapangan pekerjaan di pemerintahan. Mereka yang bekerja di pusat pemerintahan
Malaysia di Putrajaya 98 persen adalah orang Melayu. Sedangkan keturunan
Tionghoa dan India untuk sekadar mendapatkan status kewarganegaraan saja
dipersulit. Kecemburuan mulai timbul di masing-masing etnis dan tiap etnis
hidup dalam wilayah masing-masing. Untuk masalah sekolah, 90% lebih warga
Tionghoa menuntut ilmu di sekolah berbahasa Mandarin.
Sebuah survei
memperlihatkan bahwa warga menyadari ada gelombang diskriminasi, rasialisme,
dan fanatisme agama yang sangat kuat di balik slogan persatuan dan perdamaian
Malaysia. Dari survei itu juga bisa disimak betapa ste-reotif tentang ras lain
begitu kuat tertanam. Di mata warga India dan Tionghoa, bumiputra udalah
pemalas. Sedangkan di mata Bumiputra dan Tionghoa, orang India tak bisa
dipercaya. Secara resmi NEP memang tak lagi diterapkan sejak 1990. Namun, dalam
praktik keseharian proteksi untuk warga Melayu tetap saja berlangsung. Bahkan,
partai terbesar di Malaysia, UMNO, terang-terangan meminta agar NEP diterapkan
kembali pada 2005 lalu. Itulah yang membuat warga Malaysia non-Melayu kian
gerah. Protes besar-besaran warga keturunan Tamil pada 2007 adalah salah satu
bentuk reaksi. Hilangnya begitu banyak suara koalisi berkuasa. Barisan
Nasional, pada 2008 lain adalah bentuk protes yang lain. Dan. kini giliran
penggunaan kata Allah yang menjadi sumber ketegangan.
c. Diskriminasi terhadap
zionis Israel Keturunan Ethiopia, sekolah agama mengatakan tidak terhadap
Etiopia Lima gadis dikirim ke sekolah Chabad Petah Tikva, sebenarnya
gadis-gadis itu dijadwalkan untuk memulai tahun ajaran di sekolah "Etzion
Ner", yang hanya memiliki siswa keturunan Ethiopia.
Sekolah itu ditutup pada
instruksi dari Menteri Pendidikan Gideon Sa'ar. Setelah protes orang tua, lima
siswa diarahkan oleh kotamadya, tepatnya ke sekolah "Atau Chaya".
Saat tiba di lembaga, didampingi oleh orang tua mereka, dan bertemu oleh orang
di gerbang yang mengambil mereka ke samping dan memberitahu mereka bahwa
sekolah itu tidak tertarik dalam mengambil pada siswa Ethiopia. Pemerintah Kota
Petah Tikva mengajukan keluhan dengan Departemen Pendidikan terhadap sekolah.
Menteri Sa'ar menginstruksikan kementerian direktur jenderal untuk memanggil
kepala sekolah, Dina Nechama Deitchm, untuk disidang dan tidak akan menoleransi
perilaku terhadap anak-anak keturunan Ethiopia tersebut. Enam puluh enam dari
"Etzion Ner" siswa belum diserap di lembaga pendidikan alternatif.
Kotamadya berjanji bahwa tempat akan ditemukan untuk semua anak dalam beberapa
hari berikutnya, dan bahwa sekolah menolak untuk menerima mahasiswa keturunan
Ethiopia akan dihukum.
Dari Dalam Negeri:
a. Tindakan diskriminatif
terhadap etnis Tionghoa seperti kita ketahui ada sejumlah peraturan
diskriminatif yang dibuat pemerintah Orde Baru di tahun 1967, mulai dari pelarangan
mempertunjukkan ritual dan kebudayaan Tionghoa di tempat-tempat umum,
pelarangan mendirikan sekolah dan penerbitan berbahasa Tionghoa, sampai kepada
anjuran untuk mengganti nama dan berasimilasi. Ini belum termasuk
peraturan-peraturan diskriminatif yang berlaku secara terbatas dalam
bidang-bidang tertentu, seperti perbankan dan ekspor-impor.
Walau ada peraturan yang
sudah dicabut oleh pemerintahan Abdurahman Wahid, yaitu peraturan mengenai
pelarangan kebudayaan, namun masih banyak yang tetap berlaku sampai hari ini.
GANDI, SNB bersama-sama dengan PSMTI dan INTI sedang memperjuangkan pencabutan
peraturan-peraturan yang diskriminatif tersebut, antara lain dengan mengajukan
RUU Kewarganegaraan yang baru.
Sementara itu, tindakan
diskriminatif oleh orang per orang ataupun kelompok tertentu dilakukan melalui
berbagai cara, dari yang terbuka sampai yang sangat halus dan tidak kentara.
Sulit untuk melacak hal ini karena, tidak seperti diskriminasi yang dilakukan
pemerintah, tindakan diskriminatif perorangan atau kelompok tidak selalu didukung
oleh peraturan tertulis.
Tapi kalau kita dengar
tentang adanya pengkuotaan perekrutan mahasiswa etnis Tionghoa di universitas
negeri atau tentang lebih besarnya biaya lingkungan yang dibayar warga etnis
Tionghoa dibanding warga Indonesia lainnya, jelas tindakan diskriminatif memang
dipraktekkan di berbagai bidang kehidupan. Tetapi dimulai oleh siapa dan
bagaimana caranya sampai hal itu bisa berlaku selayaknya peraturan umum yang
lainnya, tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Akan tetapi, persoalan kita
di sini, bukan siapa yang mendiskriminasi, melainkan kenyataan adanya tindakan
diskriminatif yang dikenakan kepada kelompok etnis tertentu dan apa yang bisa
dilakukan untuk mengubahnya.
b. Berbagai situasi
diskriminasi perempuan disampaikan dalam pemaparan materi tersebut, seperti
yang terjadi di kasus PT.SAI (Semen Andalas Indonesia)- Aceh, dimana dalam
proses konsultasi AMDAL perusahaan, perempuan tidak dilibatkan sehingga banyak
pengalaman dan pengetahuan perempuan tidak pernah disampaikan, selain di Aceh
situasi tersebut juga terjadi di PT.Petro China-Bojonegoro, PT.Semen Tonasa-Makassar,
dan tambang galian C di Sulawesi Tengah. Begitu juga yang terjadi di perempuan
pesisir, dimana proyek-proyek yang dilakukan oleh perusahaan atas izin
pemerintah mengakibatkan perempuan mengalami ketidak adilan, hal ini juga
karena perempuan tidak dilibatkan dalam pembuatan dan perencanaan pembangunan
proyek tersebut, bahkan perempuan tidak diminta persetujuan adanya proyek tersebut,
dan masih banyak lagi kasus-kasus diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada
perempuan akibat pola pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang
menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas sumberdaya alamnya.
c. Berbicara mengenai
diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia, maka akan sangat jelas terlihat
dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Hidup bermasyarakat dengan
stereotipe gender perempuan membuat kaum perempuan rentan terhadap berbagai
tindakan dan perlakuan kekerasan yang bisa berbentuk apa saja dan terjadi di
mana saja.
Dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia, perempuan, baik sebagai korban (khususnya korban
kekerasan) maupun pelaku, sering mengalami situasi sulit. Selain kasus
kekerasan dalam rumah tangga, kasus yang sering menimpa perempuan adalah kasus
kekerasan seksual.
Kisah tragis kekerasan
seksual terhadap perempuan terjadi di bulan Agustus 2007. Yulika, seorang gadis
yang menderita cacat fisik tuna wicara sejak lahir, diperkosa oleh dua orang
tetangganya, Irwan dan Huda. Pada awalnya Yulika tidak berani menceritakan
kejadian tersebut kepada keluarganya. Akan tetapi, ternyata kejadian tersebut
kembali berulang. Pelakunya pun bertambah dua orang, yaitu Lensi dan Dwi.
Akhirnya mereka pun dilaporkan ke polisi. Para pelaku dijerat dengan dakwaan
berlapis. Jaksa/Penuntut Umum menyatakan bahwa Irwan dan Yuda bersalah
melakukan tindak pidana dan menuntut agar para pelaku dijatuhi hukuman pidana
penjara masing-masing selama 6 (enam) tahun penjara dan dikurangkan selama
mereka berada dalam tahanan sementara. Ternyata Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Ketapang berpendapat lain. Pada putusannya, para pelaku dinyatakan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Mereka
dibebaskan dari semua dakwaan Penuntut Umum tersebut dan hak mereka dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya pun dipulihkan. Karena merasa
bahwa putusan Pengadilan Negeri Ketapang tersebut tidak memenuhi rasa keadilan
dalam masyarakat karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang tidak
menerapkan peraturan hukum atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya dan cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, maka
Jaksa/Penuntut Umum mengajukan kasasi. Di tingkat kasasi, MA membatalkan
putusan Pengalokasian dan analisis
anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak.
c. Mahkamah Konstitusi
(MK) menyatakan, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001
merupakan contoh dari “affirmative action policy” atau kebijakan tindakan
afirmatif antara lain untuk menegakkan rasa keadilan di Papua, yakni
pengistimewaan Papua untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang
kepada masyarakat asli Papua memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan.
Kebijakan tersebut mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam
pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dalam mengelola
sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Menurut MK, pemberian
otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pendelegasian kewenangan
yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri
sendiri dalam kerangka NKRI. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk
memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut serta merumuskan
kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan. Salah satu peran serta
masyarakat asli Papua, lanjutnya, dalam merumuskan kebijakan daerah dan
menentukan strategi pembangunan terutama dalam bidang sosial politik adalah
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua (DPRP). Kebijakan
afirmatif atau perlakukan khusus seperti itu juga diterapkan untuk Provinsi
Aceh yaitu diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik
lokal. 3. Contoh diskriminasi terbalik! a. Fenomena perbedaan perlakuan juga
terjadi di perusahaan asing juga di perusahaan joint venture, bagi pekerja
asing (ekspatriat) dan pekerja Indonesia. Perbedaan ini terjadi mulai dari
besaran upah termasuk bonus dan fasilitas untuk jenis pekerjaan yang sama,
jaminan social dan jaminan kesejahteraan untuk tingkat kepangkatan yang sama
dan tentu saja perbedaan di dalam meraih jenjang kepangkatan dan jabatan. UU
No. 13/2003 sebenarnya telah mengatur bahwa pekerja asing hanya diperbolehkan
bekerja pada perusahaan non perseorangan (Pasal 42) dengan dasar RPTKA (Rencana
Penempatan Tenaga Kerja Asing) (Pasal 43), akan tetapi banyak pula pelanggaran
terhadap hal ini, misalnya visa yang tidak sesuai RPTKA maupun IKTA (Izin Kerja
Tenaga Kerja Asing). Banyak tenaga kerja asing yang bekerja melebihi waktu
kontrak dan tidak sesuai antara jabatan dengan jenjang pendidikannya. Banyak
manajer asing yang bekerja dengan ijazah sekolah menengah dan membawahi pekerja
Indonesia yang ber§ Membuat suatu strategi
nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak-hak anak ; § Memastikan bahwa semua peraturan
perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan
prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ; §Pengadilan Negeri Ketapang. MA menyatakan bahwa para pelaku telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”perkosaan
secara bersama-sama” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 285 KUHP
jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dalam dakwaan Primair dan menjatuhkan pidana penjara
terhadap para pelaku dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun
penjara. Kasus ini layak menjadi perhatian karena dari memori kasasi yang
diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum diketahui bahwa Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Ketapang menafsirkan unsur ”dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”
dengan berdasarkan kepada akibat fisik yang diderita oleh Yulika tanpa
mempertimbangkan bahwa dalam proses pembuktian telah diperlihatkan pakaian
Yulika berupa baju kaos dan pakaian dalam (bra) yang telah putus talinya
sehingga didapat petunjuk bahwa para pelaku memaksa Yulika. Selain itu, situasi
Yulika yang cacat tuna wicara (bisu) menghadapi 4 (empat) orang pelaku
perkosaan menimbulkan suasana yang menakutkan bagi Yulika sehingga ia tidak
berdaya untuk melawan, sehingga para pelaku tidak perlu memukul dan melukai
Yulika untuk melaksanakan niatnya. Fakta-fakta tersebut juga sesuai Visum Et
Repertum yang menyebutkan adanya luka robek pada selaput dara akibat
persetubuhan dengan benda tumpul dan adanya cairan spermotozoa pada liang
vagina.
2. Contoh tindakan
afirmatif! a. Beberapa universitas menggunakan tindakan afirmatif sebagai
kriteria penerimaan mahasiswa baru. Sehingga secara tidak langsung pihak
universitas juga menggunakan “keragaman budaya” sebagai kriteria penerimaannya.
Walaupun terkadang tindakan afirmatif dan keragaman budaya adalah hal yang
sama. Keduanya menggunakan profil rasial dan gender untuk memutuskan siapa yang
diterima di universitas tersebut. Di Amerika, semua orang seharusnya sama dan
menerima perlakuan yang sama. Profil rasial dan gender memberitahu orang bahwa
beberapa ras dan wanita kurang mampu dari yang lain dan karena itu perlu
bantuan khusus dalam mencapai potensi mereka. Profil merugikan negara ini
dengan memberitahu orang bahwa mereka tidak semua setara di bawah mata hukum.
Profil memberitahu beberapa orang bahwa mereka tidak secerdas atau sebagai
mampu sebagai orang lain dan bahwa mereka tidak dapat membuatnya tanpa bantuan.
Ini memberitahu orang lain bahwa karena mereka adalah “putih”, mereka tidak
layak membantu. Ini penghargaan beberapa orang. Sementara menghukum orang lain,
membagi negara dan penyebab efek perang kelas. Amerika adalah negeri imigran
yang seharusnya telah menyatu ke dalam satu kelas besar orang Amerika. Namun,
dengan adanya tindakan afirmatif untuk memberitahu mereka yang “hitam”, “kulit
putih”, “Hispanik”, “Timur”, dan lain-lain semua sama dan memiliki kemampuan
yang membuat negara ini bersatu. Dengan memberikan tindakan bersifat afirmatif
suatu kelompok atas kelompok lainnya untuk memberitahu “hitam”, “Hispanik” dan
lain-lain bahwa mereka dapat berada dalam satu “atap” yang sama tanpa berdiri
sendiri sebagai “putih”, “Timur” dan lain-lain. b. UNICEF mengkategorikan
anak-anak dengan kebutuhan-kebutuhan spesifik sebagai children in especially difficult
circumstances (CEDC). Kategorisasi ini dilandasi pertimbangan karena kondisinya
anak-anak berkebutuhan khusus mengalami tingkat kesulitan yang lebih besar
dalam menikmati hak-haknya dibanding anak-anak yang berada dalam situasi
normal. Kemudian kategorisasi tersebut berimplikasi secara yuridis yakni negara
harus memberikan proteksi khusus kepada anak-anak tersebut. Mengidentifikasi
kelompok-kelompok anak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan
sebagai berikut : anak-anak pedesaan; anak-anak jalanan dan daerah kumuh
perkotaan; anak perempuan; pekerja anak, anak yang dilacurkan; anak-anak cacat
(diffabel); anak-anak pengungsi dan tidak berkewarganegaraan; anak-anak dalam
penjara; dan anak-anak korban kekerasan dan terlantar. Philip Alston dalam
Bulletin of Human Rights menyatakan dalam perspektif hukum internasional,
kewajiban untuk menghargai (to respect) menyaratkan negara pihak untuk menahan
diri dari setiap tindakan yang dapat melanggar setiap hak anak. Sedangkan
kewajiban untuk memastikan (to ensure) menyiratkan kewajiban afirmatif
(affirmative obligation) dalam rangka mengambil semua tindakan yang diperlukan
untuk menjamin penikmatan hak-hak anak yang relevan. Kewajiban afirmatif
apabila ditelisik lebih jauh, sebenarnya merupakan realisasi prinsip KHA yakni
prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child
principle). Untuk itu, negara perlu menetapkan pendekatan khusus agar anak-anak
dapat menikmati sebesar mungkin hak asasi mereka. Tindakan afirmatif
(affirmative action) menjadi signifikan dilakukan oleh negara. Tindakan
afirmatif memberikan kebijakan, peraturan, atau program khusus yang bertujuan
untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok
yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan politik, dalam hal ini
dicontohkan adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Tindakan ini merupakan suatu
koreksi dan kompensasi atas diskriminasi, marjinalisasi, dan eksploitasi yang
dialami oleh kelompok masyarakat tersebut agar memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan keadilan pada semua bidang
kehidupan. Tindakan-tindakan afirmatif untuk anak berkebutuhan khusus tersebut
meliputi: pendidikan sarjana bahkan pascasarjana. Akibat hal tersebut, maka
juga banyak tidak terjadi alih teknologi (transfer teknologi) dikarenakan
perbedaan tingkat/jenjang pendidikan antara manajer dan bawahannya di
perusahaan asing. Hal ini tentu bertentangan dengan amanat Pasal 46 UU
No.13/2003 mengenai keharusan adanya alih teknologi antara pekerja asing
terhadap pekerja Indonesia, bahkan hal ini sebenarnya juga diatur di dalam
undang-undang investasi kita. b. Menurut pandangan kaum kritisi, bantuan hukum
yang terbatas pada bantuan hukum dalam persidangan saja belum cukup untuk
melepaskan kaum miskin dari diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi.
Bantuan hukum juga dilakukan dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan
undang-undang yang akan diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum
akan berusaha agar hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, perjuangan semacam
ini disebut dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan bantuan
secara struktural. Pada dasarnya, kebijakan dalam bantuan hukum struktural
ditempuh untuk merealisasikan apa yang disebut dengan kebijakan diskriminasi
terbalik atau yang sering disebut juga kebijakan diskriminatif positif.
Dikatakan demikian karena diskriminasi yang diputuskan untuk dilakukan itu demi
hukum akan memberikan kesempatan dan hak yang lebih kepada mereka yang berada
pada strata bawah dibanding dengan strata atas. Langkah-langkah legislatif
untuk membuat undang-undang baru dilakukan dengan sadar untuk memajukan
kepentingan sosial ekonomi mereka yang ada pada strata bawah. Hukum
perundang-undangan yang dibuat atas dasar kebijakan seperti itu dikenal secara
luas sebagai hukum perundang-undangan sosial. Contoh dari kebijakan sosial
adalah kebijakan pajak yang diberlakukan secara progresif. Bagi kalangan atas,
ia akan membayar pajak yang jumlahnya lebih besar. Pendapatan pajak dari
kalangan strata atas tersebut pada akhirnya akan disalurkan kepada kaum yang
berada pada strata bawah dengan cara pembagian subsidi dan penyediaan layanan
umum. c. Pendidikan keagamaan merupakan subsistem dari sistem pendidikan
nasional, yang eksistensinya disebutkan dalam pasal 11 ayat 6 Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 1989. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah (MI)
dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) ditetapkan juga sebagai pelaksana program wajib
belajar setingkat SD/SMP, sedangkan Madrasah Aliyah (MA) sebagai SMA. Dengan
demikian, pendidikan madrasah mengemban beban ganda. Di satu pihak berfungsi
sebagai lembaga pendidikan keagamaan, di lain pihak ia juga berfungsi sebagai
pelaksana pendidikan dasar dan menengah umum, yang berarti harus mengajarkan
bahan kajian sama dengan sekolah umum. Memang hal ini tidak terlepas dari
upaya-upaya penyetaraan madrasah dengan sekolah umum, yang dimulai dengan
adanya SKB 3 Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) tahun 1975. Kemudian SKB
ini dikuatkan lagi dengan PP No 28 tahun 1990, Sk Mendikbud No 0487/U/1992 dan
No 054/U/1993. SK-SK ini ditindaklanjuti dengan SK Menag No 368 dan 369 tentang
penyelenggaraan MI dan MTs. Secara kualitatif terdapat tiga masalah yang
terjadi pada guru madrasah. Pertama, ketidaksesuaian (mismatch) antara keahlian
dan mata pelajaran yang diajarkan. Misalnya, lulusan Fakultas Syari'ah mengajar
IPS atau MIPA. Kedua, belum memadainya tingkat kemampuan profesional guru, baik
dari segi materi penguasaan ilmu dalam mata pelajaran yang dipegang maupun
kemampuan dan penguasaan metodologis keguruannya. Ketiga, belum terpenuhinya
standar kualifikasi pendidikan guru. Secara umum guru madrasah negeri yang masuk
dalam kategori layak (qualified) hanya sekitar 20 persen, sedangkan untuk
kategori salah bidang (mismatch) 20 persen, dan sisanya 60 persen masih dalam
kategori belum layak (unqualified atau underqualified). Jumlah guru yang
mismatch di madrasah swasta tentu lebih besar dari pada jumlah guru serupa di
madrasah negeri. Upaya mengatasi hal tersebut sudah banyak dilakukan, baik oleh
Depag maupun oleh ormas-ormas yang memiliki madrasah, seperti NU dan
Muhammadiyah, atau oleh lembaga lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pun
telah mengarah kepada pemecahan masalah tersebut di atas, seperti diklat-diklat
bagi guru, kepala madrasah, tenaga administrasi dan keuangan, tenaga
laboratorium/perpustakan, dan sebagainya. Demikian pula, telah diupayakan
pendidikan lanjutan (S1, S2 dan S3 bagi sejumlah pegawai di lingkungan Depag
untuk mendalami bidang pendidikan). Namun, jumlah kegiatan ini tergolong masih
sangat sedikit dibandingkan kegiatan serupa di Depdiknas. Masalah utamanya
sebenarnya lebih banyak terletak pada jumlah anggaran pendidikan di bawah Depag
yang sangat tidak seimbang dengan anggaran pendidikan di bawah Depdiknas. Hal
ini juga berpengaruh pada kurangnya SDM di lingkungan Depag yang memiliki
spesialisasi di bidang pendidikan, seperti spesialis di bidang perencanaan
pendidikan, pengembangan kurikulum, informasi pendidikan, manajemen pendidikan,
evaluasi pendidikan, dan sebagainya. Di samping itu, minimnya anggaran juga
berpengaruh pada kurang layaknya gedung dan fasilitas pendidikan di lingkungan
madrasah. Penyatuan dan penyetaraan anggaran antara pendidikan keagamaan dengan
pendidikan umum, berdasarkan rasio per siswa. Idealnya upaya penyetaraan ini
dilakukan dengan memberikan anggaran lebih besar kepada pendidikan agama, agar
pendidikan keagamaan ini dapat memacu ketertinggalannya dalam waktu yang tidak
lama. Jadi, hal ini semacam “diskriminasi terbalik” (reverse discrimination)
seperti yang diajukan para ilmuwan politik di Amerika Serikat untuk memacu
perkembangan kelompok sosial yang semula diperlakukan secara diskriminatif,
seperti orang Negro di AS. Kemudian, kalau kenyataan bahwa sebagian besar
madrasah adalah swasta, bukan berarti bahwa mereka tidak berhak mendapatkan
anggaran dari negara. Kemandirian madrasah-madrasah swasta memang perlu
dipertahankan, tetapi anggaran pendidikan dari negara juga perlu diberikan
kepada mereka, terutama yang masih di bawah standar.
tolong tulisan ini diperbaiki lagi, kurang enak dibaca karena hanya ditulis dalam satu paragraf dan ukuran hurufnya kecil, padahal isi tulisannya bagus dan informatif banget.
BalasHapus