Jumat, 06 April 2012

DISKRIMINASI TERBALIK

I.      Contoh diskriminatif di luar negeri dan dalam negeri!
Dari Luar Negeri:
a.      Jepang merupakan salah satu negara termaju di dunia. Kerja keras dan semangat yang tinggi adalah bagian ciri khasnya. Namun, bukan berarti Jepang pun maju dalam segala hal. Masih ada soal diskriminasi yang mendarah daging di dalam aspek kehidupan masyarakatnya, hingga detik ini. Meski hal tersebut tidaklah terlalu mencolok, akan tetapi pengkotakan terhadap suatu kaum yang dianggap tak layak tetap terasa kental, terutama dalam hal pernikahan dan pekerjaan, apalagi yang berada diluar wilayah Kansai.
Kaum Eta dalam masyarakat feodal Jepang adalah kaum yang menempati strata paling rendah dalam masyarakat. Bahkan, mereka dianggap tidak layak menempati salah satu kasta yang ada. Pekerjaan kaum Eta yaitu yang berkaitan dengan penyembelihan hewan, mengurus pemakaman, algojo, penyamakan kulit, merupakan pekerjaan umum dari kaum Eta. Dalam agama Buddha dan Shinto (di Jepang) pekerjaan mereka termasuk dalam pekerjaan yang menjijikkan atau rendahan. Maksudnya adalah pekerjaan, seperti menyembelih hewan, algojo sebaiknya harus dihindari, karena akan berakibat kurang baik bagi diri sendiri.
Selain kaum Eta, ada beberapa kaum buangan lainnya di Jepang, yaitu:
1.     Kaum Hinin (bukan manusia) Definisi hinin, serta status sosial mereka dan pekerjaan khas bervariasi dari waktu ke waktu, tetapi biasanya termasuk mantan narapidana dan gelandangan yang bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan atau penghibur.
2.     Kaum Kawaramono (kering, orang sungai) Beberapa orang buangan juga disebut kawaramono (kering, orang sungai) karena mereka tinggal di sepanjang tepi sungai yang tidak bisa diubah menjadi sawah.
3.     Kaum Burakumin (orang-orang pemukiman kecil) Burakumin adalah sebutan untuk orang Jepang yang merupakan keturunan kaum terbuang, terutama Eta, Hinin, dan Kawaramono. Secara harfiah Burakumin berarti "Orang-orang pemukiman kecil", dimana hal ini merujuk pada pemukiman kaum Eta yang terpisah dari kasta lain dalam masyarakat feodal.

b.     Warga Malaysia keturunan Tionghoa dan India, paham betul bagaimana negeri Malaysia memperlakukan warganya yang non-Melayu. Mereka seperti warga kelas dua di negeri sendiri.
Kontroversi pemakaian kata Allah yang dianggap sebagai terjemahan Tuhan dalam bahasa Melayu pada kitab suci umat nonmuslim. Bumiputra (sebutan untuk penduduk asli Malaysia) yang menguasai 60% dari populasi mengklaim kata Allah sebagai sebutan eksklusif mereka dan tidak terima kata itu digunakan umat beragama lain. Klaim eksklusif itu pun langsung menebarkan kecemasan bagi masyarakat non-muslim Malaysia. Mereka khawatir, pihak-pihak tertentu tengah berusaha melakukan Islamisasi. Sehingga di tahun 2007 sekitar 140.000 warga Malaysia memutuskan untuk hijrah ke negara lain. Sebagian besar dari mereka dilaporkan sebagai warga non-Melayu. Perpecahan antar etnis di Malaysia itu adalah Kebijakan Ekonomi Baru (NEP). Aturan yang mulai diterapkan di era Perdana Menteri (PM) Tun Abdul Razak pada 1971, dimaksudkan untuk memproteksi etnis Melayu menyusul kerusuhan besar pada 1969 antara Melayu dan Tionghoa. Perlahan, Bumiputra memang bisa mengejar ketertinggalan mereka dalam soal ekonomi dari etnis terbesar kedua. Tionghoa. Tetapi di sisi lain proteksi ala NEP membuat warga Melayu manja karena dalam segala bidang kehidupan, warga Melayu begitu diistimewakan.
Di sektor bisnis, perusahaan yang dimiliki non-Melayu wajib mempekerjakan warga Melayu, minimal 30 persen dari total karyawan. Padahal, perusahaan milik orang Melayu sama sekali tak punya kewajiban merekrut karyawan dari etnis lain.
Di dunia pendidikan. 55 persen alokasi di universitas negeri diperuntukkan warga Melayu. Akibatnya, etnis Tionghoa dan India pun lebih memilih menuntut ilmu di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa keseharian mereka. Diskriminasi juga begitu tampak di lapangan pekerjaan di pemerintahan. Mereka yang bekerja di pusat pemerintahan Malaysia di Putrajaya 98 persen adalah orang Melayu. Sedangkan keturunan Tionghoa dan India untuk sekadar mendapatkan status kewarganegaraan saja dipersulit. Kecemburuan mulai timbul di masing-masing etnis dan tiap etnis hidup dalam wilayah masing-masing. Untuk masalah sekolah, 90% lebih warga Tionghoa menuntut ilmu di sekolah berbahasa Mandarin.
Sebuah survei memperlihatkan bahwa warga menyadari ada gelombang diskriminasi, rasialisme, dan fanatisme agama yang sangat kuat di balik slogan persatuan dan perdamaian Malaysia. Dari survei itu juga bisa disimak betapa ste-reotif tentang ras lain begitu kuat tertanam. Di mata warga India dan Tionghoa, bumiputra udalah pemalas. Sedangkan di mata Bumiputra dan Tionghoa, orang India tak bisa dipercaya. Secara resmi NEP memang tak lagi diterapkan sejak 1990. Namun, dalam praktik keseharian proteksi untuk warga Melayu tetap saja berlangsung. Bahkan, partai terbesar di Malaysia, UMNO, terang-terangan meminta agar NEP diterapkan kembali pada 2005 lalu. Itulah yang membuat warga Malaysia non-Melayu kian gerah. Protes besar-besaran warga keturunan Tamil pada 2007 adalah salah satu bentuk reaksi. Hilangnya begitu banyak suara koalisi berkuasa. Barisan Nasional, pada 2008 lain adalah bentuk protes yang lain. Dan. kini giliran penggunaan kata Allah yang menjadi sumber ketegangan.

c.      Diskriminasi terhadap zionis Israel Keturunan Ethiopia, sekolah agama mengatakan tidak terhadap Etiopia Lima gadis dikirim ke sekolah Chabad Petah Tikva, sebenarnya gadis-gadis itu dijadwalkan untuk memulai tahun ajaran di sekolah "Etzion Ner", yang hanya memiliki siswa keturunan Ethiopia.
Sekolah itu ditutup pada instruksi dari Menteri Pendidikan Gideon Sa'ar. Setelah protes orang tua, lima siswa diarahkan oleh kotamadya, tepatnya ke sekolah "Atau Chaya". Saat tiba di lembaga, didampingi oleh orang tua mereka, dan bertemu oleh orang di gerbang yang mengambil mereka ke samping dan memberitahu mereka bahwa sekolah itu tidak tertarik dalam mengambil pada siswa Ethiopia. Pemerintah Kota Petah Tikva mengajukan keluhan dengan Departemen Pendidikan terhadap sekolah. Menteri Sa'ar menginstruksikan kementerian direktur jenderal untuk memanggil kepala sekolah, Dina Nechama Deitchm, untuk disidang dan tidak akan menoleransi perilaku terhadap anak-anak keturunan Ethiopia tersebut. Enam puluh enam dari "Etzion Ner" siswa belum diserap di lembaga pendidikan alternatif. Kotamadya berjanji bahwa tempat akan ditemukan untuk semua anak dalam beberapa hari berikutnya, dan bahwa sekolah menolak untuk menerima mahasiswa keturunan Ethiopia akan dihukum.

Dari Dalam Negeri:
a.   Tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa seperti kita ketahui ada sejumlah peraturan diskriminatif yang dibuat pemerintah Orde Baru di tahun 1967, mulai dari pelarangan mempertunjukkan ritual dan kebudayaan Tionghoa di tempat-tempat umum, pelarangan mendirikan sekolah dan penerbitan berbahasa Tionghoa, sampai kepada anjuran untuk mengganti nama dan berasimilasi. Ini belum termasuk peraturan-peraturan diskriminatif yang berlaku secara terbatas dalam bidang-bidang tertentu, seperti perbankan dan ekspor-impor.
Walau ada peraturan yang sudah dicabut oleh pemerintahan Abdurahman Wahid, yaitu peraturan mengenai pelarangan kebudayaan, namun masih banyak yang tetap berlaku sampai hari ini. GANDI, SNB bersama-sama dengan PSMTI dan INTI sedang memperjuangkan pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif tersebut, antara lain dengan mengajukan RUU Kewarganegaraan yang baru.
Sementara itu, tindakan diskriminatif oleh orang per orang ataupun kelompok tertentu dilakukan melalui berbagai cara, dari yang terbuka sampai yang sangat halus dan tidak kentara. Sulit untuk melacak hal ini karena, tidak seperti diskriminasi yang dilakukan pemerintah, tindakan diskriminatif perorangan atau kelompok tidak selalu didukung oleh peraturan tertulis.
Tapi kalau kita dengar tentang adanya pengkuotaan perekrutan mahasiswa etnis Tionghoa di universitas negeri atau tentang lebih besarnya biaya lingkungan yang dibayar warga etnis Tionghoa dibanding warga Indonesia lainnya, jelas tindakan diskriminatif memang dipraktekkan di berbagai bidang kehidupan. Tetapi dimulai oleh siapa dan bagaimana caranya sampai hal itu bisa berlaku selayaknya peraturan umum yang lainnya, tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Akan tetapi, persoalan kita di sini, bukan siapa yang mendiskriminasi, melainkan kenyataan adanya tindakan diskriminatif yang dikenakan kepada kelompok etnis tertentu dan apa yang bisa dilakukan untuk mengubahnya.

b.  Berbagai situasi diskriminasi perempuan disampaikan dalam pemaparan materi tersebut, seperti yang terjadi di kasus PT.SAI (Semen Andalas Indonesia)- Aceh, dimana dalam proses konsultasi AMDAL perusahaan, perempuan tidak dilibatkan sehingga banyak pengalaman dan pengetahuan perempuan tidak pernah disampaikan, selain di Aceh situasi tersebut juga terjadi di PT.Petro China-Bojonegoro, PT.Semen Tonasa-Makassar, dan tambang galian C di Sulawesi Tengah. Begitu juga yang terjadi di perempuan pesisir, dimana proyek-proyek yang dilakukan oleh perusahaan atas izin pemerintah mengakibatkan perempuan mengalami ketidak adilan, hal ini juga karena perempuan tidak dilibatkan dalam pembuatan dan perencanaan pembangunan proyek tersebut, bahkan perempuan tidak diminta persetujuan adanya proyek tersebut, dan masih banyak lagi kasus-kasus diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada perempuan akibat pola pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas sumberdaya alamnya.

c.   Berbicara mengenai diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia, maka akan sangat jelas terlihat dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Hidup bermasyarakat dengan stereotipe gender perempuan membuat kaum perempuan rentan terhadap berbagai tindakan dan perlakuan kekerasan yang bisa berbentuk apa saja dan terjadi di mana saja.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, perempuan, baik sebagai korban (khususnya korban kekerasan) maupun pelaku, sering mengalami situasi sulit. Selain kasus kekerasan dalam rumah tangga, kasus yang sering menimpa perempuan adalah kasus kekerasan seksual.
Kisah tragis kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi di bulan Agustus 2007. Yulika, seorang gadis yang menderita cacat fisik tuna wicara sejak lahir, diperkosa oleh dua orang tetangganya, Irwan dan Huda. Pada awalnya Yulika tidak berani menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya. Akan tetapi, ternyata kejadian tersebut kembali berulang. Pelakunya pun bertambah dua orang, yaitu Lensi dan Dwi. Akhirnya mereka pun dilaporkan ke polisi. Para pelaku dijerat dengan dakwaan berlapis. Jaksa/Penuntut Umum menyatakan bahwa Irwan dan Yuda bersalah melakukan tindak pidana dan menuntut agar para pelaku dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) tahun penjara dan dikurangkan selama mereka berada dalam tahanan sementara. Ternyata Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang berpendapat lain. Pada putusannya, para pelaku dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Mereka dibebaskan dari semua dakwaan Penuntut Umum tersebut dan hak mereka dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya pun dipulihkan. Karena merasa bahwa putusan Pengadilan Negeri Ketapang tersebut tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang tidak menerapkan peraturan hukum atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya dan cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, maka Jaksa/Penuntut Umum mengajukan kasasi. Di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan  Pengalokasian dan analisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak.
c. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 merupakan contoh dari “affirmative action policy” atau kebijakan tindakan afirmatif antara lain untuk menegakkan rasa keadilan di Papua, yakni pengistimewaan Papua untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan. Kebijakan tersebut mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dalam mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Menurut MK, pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka NKRI. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut serta merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan. Salah satu peran serta masyarakat asli Papua, lanjutnya, dalam merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan terutama dalam bidang sosial politik adalah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua (DPRP). Kebijakan afirmatif atau perlakukan khusus seperti itu juga diterapkan untuk Provinsi Aceh yaitu diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal. 3. Contoh diskriminasi terbalik! a. Fenomena perbedaan perlakuan juga terjadi di perusahaan asing juga di perusahaan joint venture, bagi pekerja asing (ekspatriat) dan pekerja Indonesia. Perbedaan ini terjadi mulai dari besaran upah termasuk bonus dan fasilitas untuk jenis pekerjaan yang sama, jaminan social dan jaminan kesejahteraan untuk tingkat kepangkatan yang sama dan tentu saja perbedaan di dalam meraih jenjang kepangkatan dan jabatan. UU No. 13/2003 sebenarnya telah mengatur bahwa pekerja asing hanya diperbolehkan bekerja pada perusahaan non perseorangan (Pasal 42) dengan dasar RPTKA (Rencana Penempatan Tenaga Kerja Asing) (Pasal 43), akan tetapi banyak pula pelanggaran terhadap hal ini, misalnya visa yang tidak sesuai RPTKA maupun IKTA (Izin Kerja Tenaga Kerja Asing). Banyak tenaga kerja asing yang bekerja melebihi waktu kontrak dan tidak sesuai antara jabatan dengan jenjang pendidikannya. Banyak manajer asing yang bekerja dengan ijazah sekolah menengah dan membawahi pekerja Indonesia yang ber§ Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak-hak anak ; § Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ; §Pengadilan Negeri Ketapang. MA menyatakan bahwa para pelaku telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”perkosaan secara bersama-sama” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 285 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dalam dakwaan Primair dan menjatuhkan pidana penjara terhadap para pelaku dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun penjara. Kasus ini layak menjadi perhatian karena dari memori kasasi yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum diketahui bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang menafsirkan unsur ”dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” dengan berdasarkan kepada akibat fisik yang diderita oleh Yulika tanpa mempertimbangkan bahwa dalam proses pembuktian telah diperlihatkan pakaian Yulika berupa baju kaos dan pakaian dalam (bra) yang telah putus talinya sehingga didapat petunjuk bahwa para pelaku memaksa Yulika. Selain itu, situasi Yulika yang cacat tuna wicara (bisu) menghadapi 4 (empat) orang pelaku perkosaan menimbulkan suasana yang menakutkan bagi Yulika sehingga ia tidak berdaya untuk melawan, sehingga para pelaku tidak perlu memukul dan melukai Yulika untuk melaksanakan niatnya. Fakta-fakta tersebut juga sesuai Visum Et Repertum yang menyebutkan adanya luka robek pada selaput dara akibat persetubuhan dengan benda tumpul dan adanya cairan spermotozoa pada liang vagina.

2. Contoh tindakan afirmatif! a. Beberapa universitas menggunakan tindakan afirmatif sebagai kriteria penerimaan mahasiswa baru. Sehingga secara tidak langsung pihak universitas juga menggunakan “keragaman budaya” sebagai kriteria penerimaannya. Walaupun terkadang tindakan afirmatif dan keragaman budaya adalah hal yang sama. Keduanya menggunakan profil rasial dan gender untuk memutuskan siapa yang diterima di universitas tersebut. Di Amerika, semua orang seharusnya sama dan menerima perlakuan yang sama. Profil rasial dan gender memberitahu orang bahwa beberapa ras dan wanita kurang mampu dari yang lain dan karena itu perlu bantuan khusus dalam mencapai potensi mereka. Profil merugikan negara ini dengan memberitahu orang bahwa mereka tidak semua setara di bawah mata hukum. Profil memberitahu beberapa orang bahwa mereka tidak secerdas atau sebagai mampu sebagai orang lain dan bahwa mereka tidak dapat membuatnya tanpa bantuan. Ini memberitahu orang lain bahwa karena mereka adalah “putih”, mereka tidak layak membantu. Ini penghargaan beberapa orang. Sementara menghukum orang lain, membagi negara dan penyebab efek perang kelas. Amerika adalah negeri imigran yang seharusnya telah menyatu ke dalam satu kelas besar orang Amerika. Namun, dengan adanya tindakan afirmatif untuk memberitahu mereka yang “hitam”, “kulit putih”, “Hispanik”, “Timur”, dan lain-lain semua sama dan memiliki kemampuan yang membuat negara ini bersatu. Dengan memberikan tindakan bersifat afirmatif suatu kelompok atas kelompok lainnya untuk memberitahu “hitam”, “Hispanik” dan lain-lain bahwa mereka dapat berada dalam satu “atap” yang sama tanpa berdiri sendiri sebagai “putih”, “Timur” dan lain-lain. b. UNICEF mengkategorikan anak-anak dengan kebutuhan-kebutuhan spesifik sebagai children in especially difficult circumstances (CEDC). Kategorisasi ini dilandasi pertimbangan karena kondisinya anak-anak berkebutuhan khusus mengalami tingkat kesulitan yang lebih besar dalam menikmati hak-haknya dibanding anak-anak yang berada dalam situasi normal. Kemudian kategorisasi tersebut berimplikasi secara yuridis yakni negara harus memberikan proteksi khusus kepada anak-anak tersebut. Mengidentifikasi kelompok-kelompok anak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan sebagai berikut : anak-anak pedesaan; anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan; anak perempuan; pekerja anak, anak yang dilacurkan; anak-anak cacat (diffabel); anak-anak pengungsi dan tidak berkewarganegaraan; anak-anak dalam penjara; dan anak-anak korban kekerasan dan terlantar. Philip Alston dalam Bulletin of Human Rights menyatakan dalam perspektif hukum internasional, kewajiban untuk menghargai (to respect) menyaratkan negara pihak untuk menahan diri dari setiap tindakan yang dapat melanggar setiap hak anak. Sedangkan kewajiban untuk memastikan (to ensure) menyiratkan kewajiban afirmatif (affirmative obligation) dalam rangka mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak-hak anak yang relevan. Kewajiban afirmatif apabila ditelisik lebih jauh, sebenarnya merupakan realisasi prinsip KHA yakni prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child principle). Untuk itu, negara perlu menetapkan pendekatan khusus agar anak-anak dapat menikmati sebesar mungkin hak asasi mereka. Tindakan afirmatif (affirmative action) menjadi signifikan dilakukan oleh negara. Tindakan afirmatif memberikan kebijakan, peraturan, atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan politik, dalam hal ini dicontohkan adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Tindakan ini merupakan suatu koreksi dan kompensasi atas diskriminasi, marjinalisasi, dan eksploitasi yang dialami oleh kelompok masyarakat tersebut agar memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan keadilan pada semua bidang kehidupan. Tindakan-tindakan afirmatif untuk anak berkebutuhan khusus tersebut meliputi: pendidikan sarjana bahkan pascasarjana. Akibat hal tersebut, maka juga banyak tidak terjadi alih teknologi (transfer teknologi) dikarenakan perbedaan tingkat/jenjang pendidikan antara manajer dan bawahannya di perusahaan asing. Hal ini tentu bertentangan dengan amanat Pasal 46 UU No.13/2003 mengenai keharusan adanya alih teknologi antara pekerja asing terhadap pekerja Indonesia, bahkan hal ini sebenarnya juga diatur di dalam undang-undang investasi kita. b. Menurut pandangan kaum kritisi, bantuan hukum yang terbatas pada bantuan hukum dalam persidangan saja belum cukup untuk melepaskan kaum miskin dari diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi. Bantuan hukum juga dilakukan dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan undang-undang yang akan diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum akan berusaha agar hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, perjuangan semacam ini disebut dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan bantuan secara struktural. Pada dasarnya, kebijakan dalam bantuan hukum struktural ditempuh untuk merealisasikan apa yang disebut dengan kebijakan diskriminasi terbalik atau yang sering disebut juga kebijakan diskriminatif positif. Dikatakan demikian karena diskriminasi yang diputuskan untuk dilakukan itu demi hukum akan memberikan kesempatan dan hak yang lebih kepada mereka yang berada pada strata bawah dibanding dengan strata atas. Langkah-langkah legislatif untuk membuat undang-undang baru dilakukan dengan sadar untuk memajukan kepentingan sosial ekonomi mereka yang ada pada strata bawah. Hukum perundang-undangan yang dibuat atas dasar kebijakan seperti itu dikenal secara luas sebagai hukum perundang-undangan sosial. Contoh dari kebijakan sosial adalah kebijakan pajak yang diberlakukan secara progresif. Bagi kalangan atas, ia akan membayar pajak yang jumlahnya lebih besar. Pendapatan pajak dari kalangan strata atas tersebut pada akhirnya akan disalurkan kepada kaum yang berada pada strata bawah dengan cara pembagian subsidi dan penyediaan layanan umum. c. Pendidikan keagamaan merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, yang eksistensinya disebutkan dalam pasal 11 ayat 6 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 1989. Bahkan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) ditetapkan juga sebagai pelaksana program wajib belajar setingkat SD/SMP, sedangkan Madrasah Aliyah (MA) sebagai SMA. Dengan demikian, pendidikan madrasah mengemban beban ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan, di lain pihak ia juga berfungsi sebagai pelaksana pendidikan dasar dan menengah umum, yang berarti harus mengajarkan bahan kajian sama dengan sekolah umum. Memang hal ini tidak terlepas dari upaya-upaya penyetaraan madrasah dengan sekolah umum, yang dimulai dengan adanya SKB 3 Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) tahun 1975. Kemudian SKB ini dikuatkan lagi dengan PP No 28 tahun 1990, Sk Mendikbud No 0487/U/1992 dan No 054/U/1993. SK-SK ini ditindaklanjuti dengan SK Menag No 368 dan 369 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Secara kualitatif terdapat tiga masalah yang terjadi pada guru madrasah. Pertama, ketidaksesuaian (mismatch) antara keahlian dan mata pelajaran yang diajarkan. Misalnya, lulusan Fakultas Syari'ah mengajar IPS atau MIPA. Kedua, belum memadainya tingkat kemampuan profesional guru, baik dari segi materi penguasaan ilmu dalam mata pelajaran yang dipegang maupun kemampuan dan penguasaan metodologis keguruannya. Ketiga, belum terpenuhinya standar kualifikasi pendidikan guru. Secara umum guru madrasah negeri yang masuk dalam kategori layak (qualified) hanya sekitar 20 persen, sedangkan untuk kategori salah bidang (mismatch) 20 persen, dan sisanya 60 persen masih dalam kategori belum layak (unqualified atau underqualified). Jumlah guru yang mismatch di madrasah swasta tentu lebih besar dari pada jumlah guru serupa di madrasah negeri. Upaya mengatasi hal tersebut sudah banyak dilakukan, baik oleh Depag maupun oleh ormas-ormas yang memiliki madrasah, seperti NU dan Muhammadiyah, atau oleh lembaga lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pun telah mengarah kepada pemecahan masalah tersebut di atas, seperti diklat-diklat bagi guru, kepala madrasah, tenaga administrasi dan keuangan, tenaga laboratorium/perpustakan, dan sebagainya. Demikian pula, telah diupayakan pendidikan lanjutan (S1, S2 dan S3 bagi sejumlah pegawai di lingkungan Depag untuk mendalami bidang pendidikan). Namun, jumlah kegiatan ini tergolong masih sangat sedikit dibandingkan kegiatan serupa di Depdiknas. Masalah utamanya sebenarnya lebih banyak terletak pada jumlah anggaran pendidikan di bawah Depag yang sangat tidak seimbang dengan anggaran pendidikan di bawah Depdiknas. Hal ini juga berpengaruh pada kurangnya SDM di lingkungan Depag yang memiliki spesialisasi di bidang pendidikan, seperti spesialis di bidang perencanaan pendidikan, pengembangan kurikulum, informasi pendidikan, manajemen pendidikan, evaluasi pendidikan, dan sebagainya. Di samping itu, minimnya anggaran juga berpengaruh pada kurang layaknya gedung dan fasilitas pendidikan di lingkungan madrasah. Penyatuan dan penyetaraan anggaran antara pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum, berdasarkan rasio per siswa. Idealnya upaya penyetaraan ini dilakukan dengan memberikan anggaran lebih besar kepada pendidikan agama, agar pendidikan keagamaan ini dapat memacu ketertinggalannya dalam waktu yang tidak lama. Jadi, hal ini semacam “diskriminasi terbalik” (reverse discrimination) seperti yang diajukan para ilmuwan politik di Amerika Serikat untuk memacu perkembangan kelompok sosial yang semula diperlakukan secara diskriminatif, seperti orang Negro di AS. Kemudian, kalau kenyataan bahwa sebagian besar madrasah adalah swasta, bukan berarti bahwa mereka tidak berhak mendapatkan anggaran dari negara. Kemandirian madrasah-madrasah swasta memang perlu dipertahankan, tetapi anggaran pendidikan dari negara juga perlu diberikan kepada mereka, terutama yang masih di bawah standar.

1 komentar:

  1. tolong tulisan ini diperbaiki lagi, kurang enak dibaca karena hanya ditulis dalam satu paragraf dan ukuran hurufnya kecil, padahal isi tulisannya bagus dan informatif banget.

    BalasHapus